Definisi Tasawuf/Sufi
Kata “Shufi” berasal dari bahasa Yunani
“Shufiya” yang artinya: hikmah. Ada pendapat lain yang mengatakan bahwa
kata ini merupakan penisbatan kepada pakaian dari kain “Shuf” (kain wol)
dan pendapat ini lebih sesuai karena pakaian wol di zaman dulu selalu
diidentikkan dengan sifat zuhud, Ada juga yang mengatakan bahwa memakai pakaian
wol dimaksudkan untuk bertasyabbuh (menyerupai) Nabi ‘Isa Al Masih ‘alaihi
sallam (Lihat kitab kecil
“Haqiqat Ash Shufiyyah Fii Dhau’il Kitab was Sunnah” (hal.13), tulisan
Syaikh DR. Muhammad bin Rabi’ Al Madkhali).
Berkata Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah: “Ada perbedaan pendapat dalam penisbatan kata
“Shufi”, karena kata ini termasuk nama yang menunjukkan penisbatan,
seperti kata “Al Qurasyi” (yang artinya: penisbatan kepada suku Quraisy),
dan kata “Al Madani” (artinya: penisbatan kepada kota Madinah) dan yang
semisalnya.
Ada yang
mengatakan: “Shufi” adalah nisbat kepada Ahlush Shuffah (Ash
Shuffah adalah semacam teras yang bersambung dengan mesjid Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang dulu dijadikan tempat tinggal
sementara oleh beberapa orang sahabat Muhajirin radhiallahu ‘anhum yang
miskin, karena mereka tidak memiliki harta, tempat tinggal dan keluarga di
Madinah, maka Rasullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan mereka
tinggal sementara di teras tersebut sampai mereka memiliki tempat tinggal tetap
dan penghidupan yang cukup. Lihat kitab Taqdis Al Asykhash tulisan Syaikh
Muhammad Ahmad Lauh 1/34, -pen), tapi pendapat ini (jelas) salah, karena kalau
benar demikian maka mestinya pengucapannya adalah: “Shuffi” (dengan huruf
fa’ yang didobel).
Ada juga yang
mengatakan nisbat kepada “Ash Shaff” (barisan) yang terdepan di hadapan
Allah ‘Azza wa Jalla , pendapat ini pun salah, karena kalau benar
demikian maka mestinya pengucapannya adalah “Shaffi” (dengan harakat
fathah pada huruf “shad” dan huruf “fa’” yang didobel. Ada
juga yang mengatakan nisbat kepada “Ash Shafwah” (orang-orang terpilih)
dari semua makhluk Allah ‘Azza wa Jalla , dan pendapat ini pun salah
karena kalau benar demikian maka mestinya pengucapannya adalah:
“Shafawi”.
Ada juga yang mengatakan nisbat kepada
(seorang yang bernama) Shufah bin Bisyr bin Udd bin Bisyr bin Thabikhah, satu
suku dari bangsa Arab yang di zaman dulu (zaman jahiliah) pernah bertempat
tinggal di dekat Ka’bah di Mekkah, yang kemudian orang-orang yang ahli nusuk
(ibadah) setelah mereka dinisbatkan kepada mereka, pendapat ini juga lemah
meskipun lafadznya sesuai jika ditinjau dari segi penisbatan, karena suku ini
tidak populer dan tidak dikenal oleh kebanyakan orang-orang ahli ibadah, dan
kalau seandainya orang-orang ahli ibadah dinisbatkan kepada
mereka maka
mestinya penisbatan ini lebih utama di zaman para sahabat, para tabi’in dan
tabi’it tabi’in, dan juga karena mayoritas orang-orang yang berbicara atas nama
shufi tidak mengenal qabilah (suku) ini dan tidak ridha dirinya dinisbatkan
kepada suatu suku yang ada di zaman jahiliyah yang tidak ada eksistensinya dalam
islam. Ada juga yang mengatakan –dan pendapat inilah yang lebih dikenal- nisbat
kepada “Ash Shuf” (kain wol).” (Majmu’ul Fatawa 11/5-6).
*****
Lahirnya Ajaran Tasawuf
Tasawuf adalah istilah yang sama sekali tidak
dikenal di zaman para sahabat radhiallahu ‘anhum bahkan tidak dikenal di
zaman tiga generasi yang utama (generasi sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in).
Ajaran ini baru muncul sesudah zaman tiga generasi ini. (Lihat Haqiqat Ash Shufiyyah hal. 14).
Berkata Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah, “Adapun lafazh “Shufiyyah”, lafazh ini tidak
dikenal di kalangan tiga generasi yang utama. Lafazh ini baru dikenal dan
dibicarakan setelah tiga generasi tersebut, dan telah dinukil dari beberapa
orang imam dan syaikh yang membicarakan lafazh ini, seperti Imam Ahmad bin
Hambal, Abu Sulaiman Ad Darani dan yang lainnya, dan juga diriwayatkan dari
Sufyan Ats Tsauri bahwasanya beliau membicarakan lafazh ini, dan ada juga yang
meriwayatkan dari Hasan Al Bashri.” (Majmu’ Al Fatawa 11/5).
Kemudian Ibnu
Taimiyyah menjelaskan bahwasanya ajaran ini pertama kali muncul di kota Bashrah,
Iraq, yang dimulai dengan timbulnya sikap berlebih-lebihan dalam zuhud dan
ibadah yang tidak terdapat di kota-kota (islam) lainnya. (Majmu’ Al Fatawa 11/6).
Berkata Imam
Ibnu Al Jauzi: “Tasawuf adalah suatu aliran yang lahirnya diawali dengan sifat
zuhud secara keseluruhan, kemudian orang-orang yang menisbatkan diri kepada
aliran ini mulai mencari kelonggaran dengan mendengarkan nyanyian dan melakukan
tari-tarian, sehingga orang-orang awam yang cenderung kepada akhirat tertarik
kepada mereka karena mereka menampakkan sifat zuhud, dan orang-orang yang cinta
dunia pun tertarik kepada mereka karena melihat gaya hidup yang suka
bersenang-senang dan bermain pada diri mereka.” (Talbis Iblis hal 161).
Dan berkata DR.
Shabir Tha’imah dalam kitabnya Ash Shufiyyah Mu’taqadan Wa Maslakan (hal.
17): “Dan jelas sekali besarnya pengaruh gaya hidup kependetaan Nasrani -yang
mereka selalu memakai pakaian wol ketika mereka berada di dalam biara-biara-
pada orang-orang yang memusatkan diri pada kegiatan ajaran tasawuf ini di
seluruh penjuru dunia, padahal Islam telah membebaskan dunia ini dengan tauhid,
yang mana gaya hidup ini dan lainnya memberikan suatu pengaruh yang sangat jelas
pada tingkah laku para pendahulu ahli tasawuf.” (Dinukil oleh Syaikh Shalih Al Fauzan dalam kitabnya “Haqiqat At
Tashawuf” hal. 13).
Dan berkata Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir
dalam kitab beliau At Tashawuf, Al Mansya’ wa Al Mashdar hal. 28: “Ketika
kita mengamati lebih dalam ajaran-ajaran tasawuf yang dulu maupun yang sekarang
dan ucapan-ucapan mereka, yang dinukil dan diriwayatkan dalam kitab-kitab
tasawuf yang dulu maupun sekarang, kita akan melihat suatu perbedaan yang sangat
jelas antara ajaran tersebut dengan ajaran Al Quran dan As Sunnah.
Dan sama sekali
tidak pernah kita dapati bibit dan cikal bakal ajaran tasawuf ini dalam
perjalanan sejarah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para
sahabat beliau radhiallahu ‘anhum yang mulia, orang-orang yang terbaik dan
pilihan dari hamba-hamba Allah ‘Azza wa Jalla , bahkan justru sebaliknya
kita dapati ajaran tasawuf ini diambil dan dipungut dari kependetaan model
Nasrani, dari kebrahmanaan model agama Hindu, peribadatan model Yahudi dan
kezuhudan model agama Budha.” (Dinukil
oleh Syaikh Shalih Al Fauzan dalam kitabnya “Haqiqat At Tashawuf” hal.
14).
Dari keterangan
yang kami nukilkan di atas, jelaslah bahwa tasawuf adalah ajaran yang menyusup
ke dalam Islam, hal ini terlihat jelas pada amalan-amalan yang dilakukan oleh
orang-orang ahli tasawuf, amalan-amalan asing dan jauh dari petunjuk islam. Dan
yang kami maksudkan di sini adalah orang-orang ahli tasawuf zaman sekarang, yang
banyak melakukan kesesatan dan kebohongan dalam agama, adapun ahli tasawuf yang
terdahulu keadaan mereka masih lumayan, seperti Fudhail bin ‘Iyadh, Al Junaid,
Ibrahim bin Adham dan lain-lain. (Lihat
kitab Haqiqat At Tashawwuf tulisan Syaikh Shalih Al Fauzan hal.
15).
*****
1/3
rang-orang ahli tasawuf –khususnya yang ada di zaman sekarang-
mempunyai prinsip dasar dan metode khusus dalam memahami dan menjalankan agama
ini, yang sangat bertentangan dengan prinsip dan metode Ahlusunnah wal Jamaah,
dan menyimpang sangat jauh dari Al Quran dan As Sunnah. Mereka membangun
keyakinan dan tata cara peribadatan mereka di atas simbol-simbol dan
istilah-istilah yang mereka ciptakan sendiri, yang dapat kita simpulkan sebagai
berikut:
Pertama, mereka membatasi
ibadah hanya pada aspek Mahabbah (kecintaan) saja dan mengenyampingkan
aspek-aspek yang lainnya, seperti aspek Khauf (rasa takut) dan
Raja’ (harapan), sebagaimana yang terlihat dalam ucapan beberapa orang
ahli tasawuf, “Aku beribadah kepada Allah ‘Azza wa Jalla bukan karena aku
mengharapkan masuk surga dan juga bukan karena takut masuk neraka!?” Memang
benar bahwa aspek Mahabbah adalah landasan berdirinya ibadah, akan tetapi ibadah
itu tidak hanya terbatas pada aspek Mahabbah saja –sebagaimana yang disangka
oleh orang-orang ahli tasawuf–, karena ibadah itu memiliki banyak jenis dan
aspek yang melandasinya selain aspek Mahabbah, seperti aspek khauf, raja’, dzull
(penghinaan diri), khudhu’ (ketundukkan), doa dan aspek-aspek
lain.
Salah seorang ulama Salaf berkata:
“Barang siapa yang beribadah kepada Allah ‘Azza wa Jalla dengan kecintaan
semata maka dia adalah seorang zindiq, dan barang siapa yang beribadah kepada
Allah dengan pengharapan semata maka dia adalah seorang Murji’ah, dan barang
siapa yang beribadah kepada Allah ‘Azza wa Jalla dengan ketakutan semata maka
dia adalah seorang Haruriyyah (Khawarij), dan barang siapa yang beribadah kepada
Allah ‘Azza wa Jalla dengan kecintaan, ketakutan dan pengharapan maka dialah
seorang mukmin sejati dan muwahhid (orang yang bertauhid dengan benar).”
Oleh karena itu Allah ‘Azza wa Jalla memuji sifat para Nabi dan
Rasul-Nya, yang mereka senantiasa berdoa kepada-Nya dengan perasaan takut dan
berharap, dan mereka adalah orang-orang yang selalu mengharapkan rahmat-Nya dan
takut akan siksaan-Nya.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah: “Kebanyakan orang-orang yang menyimpang (dari jalan Allah),
orang-orang yang mengikuti ajaran-ajaran bid’ah berupa sikap zuhud dan
ibadah-ibadah yang tidak dilandasi ilmu dan tidak sesuai dengan petunjuk dari Al
Quran dan As Sunnah, mereka terjerumus ke dalam kesesatan seperti yang
terjadi pada orang-orang Nasrani yang mengaku-ngaku mencintai Allah, yang
bersamaan dengan itu mereka menyimpang dari syariat-Nya dan enggan untuk
bermujahadah (bersungguh-sungguh) dalam menjalankan agama-Nya, dan
penyimpangan-penyimpangan lainnya.” (Kitab Al ‘Ubudiyyah, tulisan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
[hal. 90], cet. Darul Ifta’, Riyadh).
Dari uraian di atas jelaslah bahwa
membatasi ibadah hanya pada aspek Mahabbah saja tidaklah disebut ibadah, bahkan
ajaran ini bisa menjerumuskan penganutnya ke jurang kesesatan bahkan menyebabkan
dia keluar dari agama islam.
Kedua, orang-orang ahli tasawuf
umumnya dalam menjalankan agama dan melaksanakan ibadah tidak berpedoman kepada
Al Quran dan As Sunnah, tapi yang mereka jadikan pedoman adalah bisikan jiwa dan
perasaan mereka dan ajaran yang digariskan oleh pimpinan-pimpinan mereka, berupa
thariqat-thariqat bid’ah, berbagai macam zikir dan wirid yang mereka ciptakan
sendiri, dan tidak jarang mereka mengambil pedoman dari cerita-cerita (yang
tidak jelas kebenarannya), mimpi-mimpi, bahkan hadits-hadits yang palsu untuk
membenarkan ajaran dan keyakinan mereka. Inilah landasan ibadah dan keyakinan
ajaran Tasawuf.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata,
“Orang-orang ahli Tasawuf dalam beragama dan mendekatkan diri kepada Allah
‘Azza wa Jalla berpegang teguh pada suatu pedoman seperti pedoman yang
dipegang oleh orang-orang Nasrani, yaitu ucapan-ucapan yang tidak jelas
maknanya, dan cerita-cerita yang bersumber dari orang yang tidak dikenal
kejujurannya, kalaupun ternyata orang tersebut jujur, tetap saja dia bukan
seorang (Nabi/Rasul) yang terjaga dari kesalahan, maka (demikian pula yang
dilakukan orang-orang ahli Tasawuf) mereka menjadikan para pemimpin dan guru
mereka sebagai penentu/pembuat syariat agama bagi mereka, sebagaimana
orang-orang Nasrani menjadikan para pendeta dan rahib mereka sebagai
penentu/pembuat syariat agama bagi mereka.”
Ketiga, termasuk doktrin ajaran
Tasawuf adalah keharusan berpegang teguh dan menetapi zikir-zikir dan
wirid-wirid yang ditentukan dan diciptakan oleh guru-guru thariqat mereka, yang
kemudian mereka menetapi dan mencukupkan diri dengan zikir-zikir tersebut,
beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah ‘Azza wa Jalla dengan selalu
membacanya, bahkan tidak jarang mereka mengklaim bahwa membaca zikir-zikir
tersebut lebih utama daripada membaca Al Quran, dan mereka menamakannya
dengan “zikirnya orang-orang
khusus.”
Adapun zikir-zikir yang tercantum dalam Al Quran dan As Sunnah
mereka namakan dengan “zikirnya orang-orang umum”, maka kalimat
(Laa Ilaha Illallah) menurut mereka adalah “zikirnya orang-orang
umum”, adapun “zikirnya orang-orang khusus” adalah kata tunggal
“Allah” dan “zikirnya orang-orang khusus yang lebih khusus”
adalah kata (Huwa/Dia).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata:
“Barang siapa yang menyangka bahwa kalimat (Laa Ilaha Illallah) adalah
zikirnya orang-orang umum, dan zikirnya orang-orang khusus adalah kata tunggal
“Allah”, serta zikirnya orang-orang khusus yang lebih khusus adalah
kata ganti (Huwa/Dia), maka dia adalah orang yang sesat dan
menyesatkan. Di antara mereka ada yang berdalil untuk membenarkan hal ini, dengan
firman Allah ‘Azza wa Jalla :
“ Dan mereka tidak menghormati Allah
dengan penghormatan yang semestinya, di kala mereka berkata: "Allah tidak
menurunkan sesuatupun kepada manusia." Katakanlah: "Siapakah yang menurunkan
kitab (Taurat) yang dibawa oleh Musa sebagai cahaya dan petunjuk bagi manusia,
kamu jadikan kitab itu lembaran-lembaran kertas yang bercerai-berai, kamu
perlihatkan (sebahagiannya) dan kamu sembunyikan sebahagian besarnya, padahal
telah diajarkan kepadamu apa yang kamu dan bapak-bapak kamu tidak
mengetahui(nya) ?" Katakan: Allah (yang
menurunkannya), kemudian (sesudah kamu menyampaikan Al Quran kepada mereka),
biarkanlah mereka bermain-main dalam kesesatannya.” (QS. Al
An’aam: 91)
(Berdalil dengan cara seperti ini) adalah kesalahan yang paling
nyata yang dilakukan oleh orang-orang ahli Tasawuf, bahkan ini termasuk
menyelewengkan ayat Al Quran dari maknanya yang sebenarnya, karena sesungguhnya
kata “Allah” dalam ayat ini disebutkan dalam kalimat perintah untuk menjawab
pertanyaan sebelumnya, yaitu yang Allah ‘Azza wa Jalla dalam
firman-Nya:
“ Dan mereka tidak menghormati Allah
dengan penghormatan yang semestinya, di kala mereka berkata: "Allah tidak
menurunkan sesuatupun kepada manusia." Katakanlah: Siapakah yang
menurunkan kitab (Taurat) yang dibawa oleh Musa sebagai cahaya dan petunjuk bagi
manusia, kamu jadikan kitab itu lembaran-lembaran kertas yang terpisah-pisah,
kamu perlihatkan (sebagiannya) dan kamu sembunyikan sebagian besarnya, padahal
telah diajarkan kepadamu apa yang kamu dan bapak-bapakmu tidak mengetahuinya?
Katakanlah: Allah (yang menurunkannya), kemudian (sesudah kamu menyampaikan Al Quran
kepada mereka), biarkanlah mereka bermain-main dalam kesesatannya.” (QS. Al
An’aam: 91)
Jadi maknanya yang benar adalah: “Katakanlah: Allah, Dialah
yang menurunkan kitab (Taurat) yang dibawa oleh Nabi Musa shallallahu ‘alaihi wa
sallam.” (Kitab
Al
‘Ubudiyyah hal.
117).
Keempat, sikap Ghuluw
(berlebih-lebihan/ekstrem) orang-orang ahli Tasawuf terhadap orang-orang yang
mereka anggap wali dan guru-guru thariqat mereka, yang bertentangan dengan
aqidah Ahlusunnah wal Jamaah, karena di antara prinsip aqidah Ahlusunnah wal
Jamaah adalah berwala (mencintai/berloyalitas) kepada orang-orang yang dicintai
Allah ‘Azza wa Jalla dan membenci musuh-musuh Allah ‘Azza wa Jalla
. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
“Sesungguhnya wali
(kekasih/penolongmu) hanyalah Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman,
yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada
Allah).”
(QS. Al Maaidah: 55)
Dan Allah ‘Azza wa Jalla
berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman
setia
yang kamu
sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang;
padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu,
mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah,
Tuhanmu. Jika kamu benar-benar keluar untuk berjihad di jalan-Ku dan mencari
keridhaan-Ku (janganlah kamu berbuat demikian). Kamu memberitahukan secara
rahasia (berita-berita Muhammad) kepada mereka, karena rasa kasih sayang. Aku
lebih mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. Dan
barangsiapa di antara kamu yang melakukannya, maka sesungguhnya dia telah
tersesat dari jalan yang lurus. ” (QS. Al
Mumtahanah: 1)
Wali (kekasih) Allah ‘Azza wa Jalla
adalah orang-orang yang beriman dan bertakwa, yang mendirikan shalat dan
menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah ‘Azza wa Jalla ).
Dan
merupakan kewajiban kita untuk mencintai, menghormati dan meneladani mereka. Dan
perlu ditegaskan di sini bahwa derajat kewalian itu tidak hanya dikhususkan pada
orang-orang tertentu, bahkan setiap orang yang beriman dan bertakwa dia adalah
wali (kekasih) Allah ‘Azza wa Jalla , akan tetapi kedudukan sebagai wali
Allah ‘Azza wa Jalla tidaklah menjadikan seseorang terjaga dari
kesalahan dan kekhilafan. Inilah makna wali dan kewalian, dan kewajiban kita
terhadap mereka, menurut pemahaman Ahlusunnah wal Jamaah.
Adapun makna wali menurut orang-orang
ahli Tasawuf sangat berbeda dengan pemahaman Ahlusunnah wal Jama’ah, karena
orang-orang ahli Tasawuf memiliki beberapa kriteria dan pertimbangan tertentu
(yang bertentangan dengan petunjuk Al Quran dan As Sunnah) dalam masalah ini,
sehingga mereka menobatkan derajat kewalian hanya kepada orang-orang tertentu
tanpa dilandasi dalil dari syariat yang menunjukkan kewalian orang-orang
tersebut. Bahkan tidak jarang mereka menobatkan derajat kewalian kepada orang
yang tidak dikenal keimanan dan ketakwaannya, bahkan kepada orang yang dikenal
punya penyimpangan dalam keimanannya, seperti orang yang melakukan praktek
perdukunan, sihir dan menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah ‘Azza wa
Jalla . Dan terkadang mereka menganggap bahwa kedudukan orang-orang yang
mereka anggap sebagai “wali” melebihi kedudukan para Nabi
shallallahu ‘alaihi wa
sallam,
sebagaimana ucapan salah seorang dari mereka:
Kedudukan para Nabi di alam
Barzakh
Sedikit di atas kedudukan Rasul, dan di bawah kedudukan wali
Sedikit di atas kedudukan Rasul, dan di bawah kedudukan wali
Orang-orang ahli Tasawuf juga berkata,
“Sesungguhnya para wali mengambil
(agama mereka langsung) dari sumber tempat Malaikat Jibril shallallahu ‘alaihi
wa sallam mengambil wahyu yang disampaikan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam ?!” Dan mereka juga menganggap bahwa wali-wali mereka itu terjaga dari
kesalahan?!
Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah berkata, “…Kamu akan dapati mayoritas orang-orang ahli Tasawuf
menobatkan seseorang sebagai “wali” hanya dikarenakan orang tersebut mampu
menyingkap tabir dalam suatu masalah, atau orang tersebut melakukan sesuatu yang di luar
kemampuan manusia, seperti menunjuk kepada seseorang kemudian orang itu mati,
terbang di udara menuju ke Mekkah atau tempat-tempat lainnya, terkadang berjalan
di atas air, mengisi teko dari udara dengan air sampai penuh, ketika ada orang
yang meminta pertolongan kepadanya dari tempat yang jauh atau setelah dia mati,
maka orang itu melihatnya datang dan menunaikan kebutuhannya, memberitahu tempat
barang-barang yang dicuri, memberitakan hal-hal yang gaib (tidak nampak), atau
orang yang sakit dan yang semisalnya.
Padahal kemampuan melakukan hal-hal ini
sama sekali tidaklah menunjukkan bahwa pelakunya adalah wali Allah ‘Azza wa
Jalla . Bahkan orang-orang yang beriman dan bertakwa sepakat dan sependapat
mengatakan bahwa jika ada orang yang mampu terbang di udara atau berjalan di
atas air, maka kita tidak boleh terperdaya dengan penampilan tersebut sampai
kita melihat apakah perbuatannya sesuai dengan Sunnah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa
sallam? apakah orang
tersebut selalu menaati perintah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjauhi larangannya? (Oleh karena itulah kita
tidak pernah mendengar ada seorang muslim pun yang menganggap bahwa Superman dan
Gatotkaca adalah wali-wali Allah, padahal mereka ini (katanya) bisa terbang di
udara?! –pen) …karena hal-hal yang di luar kemampuan manusia ini bisa dilakukan
oleh banyak orang kafir, musyrik, ahli kitab dan orang munafik, dan bisa
dilakukan oleh para pelaku bid’ah dengan bantuan setan/jin, maka sama sekali
tidak boleh dianggap bahwa setiap orang yang mampu melakukan hal-hal di atas
adalah wali Allah.” (Majmu’ Al
Fatawa
11/215).
Kemudian ternyata kesesatan
orang-orang ahli tasawuf tidak sampai di sini saja, karena sikap mereka yang
berlebih-lebihan dan melampaui batas dalam mengagungkan orang-orang yang mereka
anggap sebagai “wali”, sampai-sampai mereka menganggap “para wali” tersebut
memiliki sifat-sifat ketuhanan, seperti menentukan kejadian-kejadian di alam
semesta ini, mengetahui hal-hal yang gaib, memenuhi kebutuhan orang-orang yang
meminta pertolongan kepada mereka dalam perkara-perkara yang tidak mampu
dilakukan kecuali oleh Allah ‘Azza wa Jalla dan sifat-sifat ketuhanan
lainnya. Kemudian sikap berlebih-lebihan ini menjerumuskan mereka ke dalam
perbuatan syirik dengan menjadikan “para wali” tersebut sebagai sesembahan
selain Allah ‘Azza wa Jalla , dengan membangun kuburan “para wali”
tersebut, meyakini adanya keberkahan pada tanah kuburan tersebut, melakukan
berbagai macam kegiatan ibadah padanya, seperti thawaf dengan mengelilingi
kuburan tersebut, bernazar dengan maksud mendekatkan diri kepada penghuni kubur
dan perbuatan-perbuatan syirik lainnya.
Kelima, termasuk
doktrin ajaran Tasawuf yang sesat adalah mendekatkan diri (?) kepada Allah
‘Azza wa Jalla dengan nyanyian, tarian, tabuhan rebana dan bertepuk
tangan, yang semua ini mereka anggap sebagai amalan ibadah kepada Allah ‘Azza
wa Jalla . DR. Shabir Tha’imah berkata dalam kitabnya Ash Shufiyyah,
Mu’taqadan wa Masakan, “Saat ini tarian sufi modern telah dipraktekkan pada
mayoritas thariqat-thariqat sufiyyah dalam pesta-pesta perayaan ulang tahun
beberapa tokoh mereka, dimana para pengikut thariqat berkumpul untuk
mendengarkan nada-nada musik yang terkadang didendangkan oleh lebih dari dua
ratus pemain musik pria dan wanita, sedangkan para murid senior dalam pesta ini
duduk sambil mengisap berbagai jenis rokok, dan para tokoh senior beserta para
pengikutnya membacakan beberapa kisah khurafat (bohong) yang terjadi pada sang
tokoh yang telah meninggal dunia…”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata,
“…Ketahuilah bahwa perbuatan orang-orang ahli tasawuf ini sama sekali tidak
pernah dilakukan di awal tiga generasi yang utama di semua negeri islam: Hijaz,
Syam, Yaman, Mesir, Magrib, Irak, dan Khurasan. Orang-orang yang shalih, taat
beragama dan rajin beribadah pada masa itu tidak pernah berkumpul untuk
mendengarkan siulan (yang berisi lantunan musik), tepukan tangan, tabuhan rebana
dan ketukan tongkat (seperti yang dilakukan oleh orang-orang ahli tasawuf),
perbuatan ini adalah perkara yang diada-adakan (bid’ah) yang muncul di
penghujung abad kedua, dan ketika para Imam Ahlusunnah melihat perbuatan ini
mereka langsung mengingkarinya, (sampai-sampai) Imam Asy Syafi’i
rahimahullah berkata: “Aku tinggalkan Baghdad, dan di sana
ada suatu perbuatan yang diada-adakan oleh orang-orang zindiq (munafik tulen)
yang mereka namakan At Taghbir[2], yang mereka
jadikan senjata untuk menjauhkan kaum muslimin dari Al
Quran.” Dan Imam
Yazid bin Harun berkata: “Orang yang mendendangkan At Taghbir
tidak lain adalah orang fasik, kapan munculnya perbuatan
ini?”
Imam Ahmad ketika ditanya (tentang
perbuatan ini), beliau menjawab, “Aku tidak menyukainya (karena) perbuatan ini
adalah bid’ah”, maka beliau
ditanya lagi: “Apakah anda mau duduk bersama
orang-orang yang melakukan perbuatan ini?” Beliau menjawab, “Tidak.” Demikian pula Imam-Imam besar lainnya mereka semua tidak menyukai
perbuatan ini. Dan para Syaikh (ulama) yang Shalih tidak ada yang mau menghadiri
(menyaksikan) perbuatan ini, seperti: Ibrahim bin Adham, Fudhail bin ‘Iyadh,
Ma’ruf Al Karkhi, Abu Sulaiman Ad Darani, Ahmad bin Abil Hawari, As Sariy As
Saqti dan syaikh-syaikh lainnya.”
(Majmu’ Al
Fatawa
11/569).
Maka orang-orang ahli Tasawuf
yang mendekatkan diri (?) kepada Allah ‘Azza wa Jalla dengan cara-cara
seperti ini, adalah tepat jika dikatakan bahwa mereka itu seperti orang-orang
(penghuni Neraka) yang dicela oleh Allah ‘Azza wa Jalla dalam
firman-Nya:
“(yaitu) orang-orang yang menjadikan
agama mereka sebagai main-main dan senda gurau, dan kehidupan dunia telah menipu
mereka. Maka pada hari (kiamat) ini, Kami melupakan mereka sebagaimana mereka
melupakan pertemuan mereka dengan hari ini, dan (sebagaimana) mereka selalu
mengingkari ayat-ayat Kami.” (QS. Al
A’raaf: 51)
Keenam, juga termasuk doktrin
ajaran tasawuf yang sesat adalah apa yang mereka namakan sebagai suatu
keadaan/tingkatan yang jika seseorang telah mencapainya maka dia akan terlepas
dari kewajiban melaksanakan syariat Islam. Keyakinan ini muncul sebagai hasil
dari perkembangan ajaran tasawuf, karena asal mula ajaran tasawuf –sebagaimana
yang diterangkan oleh Ibnul Jauzi- adalah melatih jiwa dan menundukkan watak
dengan berupaya memalingankannya dari akhlak-akhlak yang jelek dan membawanya
pada akhlak-akhlak yang baik, seperti sifat zuhud, tenang, sabar, ikhlas dan
jujur.
Kemudian Ibnul Jauzi mengatakan:
“Inilah asal mula ajaran tasawuf yang dipraktekkan oleh pendahulu-pendahulu
mereka, kemudian Iblis mulai memalingkan dan menyesatkan mereka dari generasi ke
generasi berikutnya dengan berbagai macam syubhat (kerancuan) dan talbis
(pencampuradukan), kemudian penyimpangan ini terus bertambah sehingga Iblis
berhasil dengan baik menguasai generasi belakangan dari orang-orang ahli
tasawuf. Pada mulanya, dasar upaya penyesatan yang diterapkan oleh Iblis kepada
mereka adalah memalingkan mereka dari (mempelajari) ilmu agama dan mengesankan
kepada mereka bahwa tujuan utama adalah (semata-semata) beramal (tanpa perlu
ilmu), dan ketika Iblis telah berhasil memadamkan cahaya ilmu dalam diri mereka,
mulailah mereka berjalan tanpa petunjuk dalam kegelapan/kesesatan, maka di
antara mereka ada yang dikesankan padanya bahwa tujuan utama (ibadah) adalah
meninggalkan urusan dunia secara keseluruhan, sampai-sampai mereka meninggalkan
apa-apa yang dibutuhkan oleh tubuh mereka, bahkan mereka menyerupakan harta
dengan kalajengking, dan mereka lupa bahwa Allah ‘Azza wa Jalla
menjadikan harta bagi manusia untuk kemaslahatan mereka, kemudian mereka
bersikap berlebih-lebihan dalam menyiksa diri-diri mereka, sampai-sampai ada di
antara mereka yang tidak pernah tidur (sama sekali).
Meskipun niat mereka baik (sewaktu
melakukan perbuatan ini), akan tetapi (perbuatan yang mereka lakukan) menyimpang
dari jalan yang benar. Di antara mereka juga ada yang beramal berdasarkan
hadits-hadits yang palsu tanpa disadarinya karena dangkalnya ilmu agama.
Kemudian datanglah generasi-generasi setelah mereka yang mulai membicarakan
(keutamaan) lapar, miskin dan bisikan-bisikan jiwa, bahkan mereka menulis
kitab-kitab (khusus) tentang masalah ini, seperti (tokoh sufi yang bernama) Al
Harits Al Muhasibi.
Lalu datang generasi selanjutnya yang
mulai merangkum dan menghimpun mazhab/ajaran tasawuf dan mengkhususkannya dengan
sifat-sifat khusus, seperti Ma’rifah (mengenal Allah dengan sebenarnya)(??!),
Sama’ (mendengarkan nyanyian dan lantunan musik), Wajd (bisikan jiwa), Raqsh
(tari-tarian) dan Tashfiq (tepukan tangan), kemudian ajaran tasawuf terus
berkembang dan para guru thariqat mulai membuat aturan-aturan khusus bagi mereka
dan membicarakan (membangga-banggakan) kedudukan mereka (orang-orang ahli
tasawuf), sehingga (semakin lama mereka semakin jauh dari petunjuk) para ulama
Ahlusunnah, dan mereka mulai memandang tinggi ajaran dan ilmu mereka (ilmu
tasawuf), sampai-sampai mereka namakan ilmu tersebut dengan ilmu batin dan
mereka menganggap ilmu syari’at sebagai ilmu lahir??!
Dan di antara mereka karena rasa lapar
yang sangat hingga membawa mereka kepada khayalan-khayalan yang rusak dan
mengaku-ngaku jatuh cinta dan kasmaran kepada Al Haq (Allah ‘Azza wa Jalla
), (padahal yang) mereka lihat dalam khayalan mereka adalah seseorang yang
rupanya menawan yang kemudian membuat mereka jatuh cinta berat (lalu mereka
mengaku-ngaku bahwa yang mereka cintai itu adalah Allah ‘Azza wa Jalla ).
Maka mereka ini (terombang-ambing) di antara kekufuran dan bid’ah, kemudian
semakin banyak jalan-jalan sesat yang mereka ikuti sehingga menyebabkan rusaknya
akidah mereka, maka di antara mereka ada yang menganut keyakinan Al Hulul, juga
ada yang menganut keyakinan Wihdatul Wujud, dan terus-menerus Iblis
menyesatkan mereka dengan berbagai bentuk bid’ah (penyimpangan) sehingga mereka
menjadikan untuk diri-diri mereka sendiri tata cara beribadah yang khusus (yang
berbeda dengan tata cara beribadah yang Allah ‘Azza wa Jalla syari’atkan
dalam agama islam).” (Kitab Talbis
Iblis, tulisan Ibnul Jauzi hal. 157-158).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
ketika beliau ditanya tentang sekelompok orang yang mengatakan bahwa diri mereka
telah mencapai tingkatan bebas dari kewajiban melaksanakan syariat, maka beliau
menjawab: “Tidak diragukan lagi –menurut pandangan orang-orang yang berilmu dan
orang-orang yang beriman– bahwa ucapan ini adalah termasuk kekufuran yang paling
besar, bahkan ucapan ini lebih buruk daripada ucapan orang-orang Yahudi dan
Nasrani, karena orang-orang Yahudi dan Nasrani mereka mengimani sebagian (isi)
kitab suci mereka dan mengingkari sebagian lainnya, dan mereka itulah orang-orang kafir yang
sebenarnya, dan mereka juga membenarkan perintah dan larangan Allah ‘Azza wa
Jalla , meyakini janji dan ancaman-Nya…
Kesimpulannya: Bahwa
Orang-orang Yahudi dan Nasrani yang berpegang pada ajaran agama mereka yang
telah dihapus (dengan datangnya agama islam) dan telah mengalami perubahan dan
rekayasa, mereka ini lebih baik (keadaannya) dibandingkan orang-orang yang
menyangka bahwa mereka telah bebas dari kewajiban melaksanakan perintah Allah
‘Azza wa Jalla secara keseluruhan, karena dengan keyakinan tersebut
berarti mereka telah keluar dari ajaran semua kitab suci, semua syariat dan
semua agama, mereka sama sekali tidak berpegang kepada perintah dan larangan
Allah ‘Azza wa Jalla , bahkan mereka lebih buruk dari orang-orang musyrik
yang masih berpegang kepada sebagian dari ajaran agama yang terdahulu, seperti
orang-orang musyrik bangsa Arab yang masih berpegang pada sebagian dari ajaran
agama nabi Ibrahim ‘alaihi salam… Dan di antara mereka ada yang
berargumentasi (untuk membenarkan keyakinan tersebut) dengan firman Allah
‘Azza wa Jalla :
“Sembahlah Rabbmu
sampai datang kepadamu sesuatu yang diyakini (kematian)” (QS. Al Hijr:
99)
Mereka berkata makna ayat di atas
adalah, “Sembahlah Rabbmu sampai kamu (mencapai tingkatan) ilmu dan
ma’rifat, dan jika kamu telah mencapainya maka gugurlah (kewajiban melaksanakan)
ibadah atas dirimu…” (pada hakikatnya) ayat ini justru menyanggah (keyakinan)
mereka dan tidak membenarkannya. Hasan Al Bashri berkata: “Sesungguhnya Allah
tidak menjadikan bagi amalan orang-orang yang beriman batas akhir kecuali
kematian, kemudian Hasan Al Bashri membaca ayat tersebut di atas. Dan makna “Al
Yaqin” dalam ayat tersebut adalah “Al Maut” (kematian) dan peristwa-peristiwa
sesudahnya, (dan makna ini) berdasarkan kesepakatan semua ulama Islam, seperti
yang juga Allah ‘Azza wa Jalla sebutkan dalam
Firman-Nya:
“Apa yang menyebabkan kamu (wahai
orang-orang kafir) masuk ke dalam Saqar (neraka)?, mereka menjawab: Kami dahulu
(di dunia) tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat, dan kami tidak
(pula) memberi makan orang miskin, dan kami ikut membicarakan yang bathil
bersama orang-orang yang membicarakannya, dan kami mendustakan hari pembalasan,
hingga datanglah pada kami sesuatu yang diyakini
(kematian).”
(QS. Al Muddatstsir: 42-47)
Maka (dalam ayat ini) mereka (orang-orang kafir) menyebutkan (bahwa
telah sampai kepada mereka Al Yaqin/kematian) padahal mereka termasuk penghuni
neraka, dan mereka ceritakan perbuatan-perbuatan mereka (yang menyebabkan mereka
masuk ke dalam neraka): meninggalkan shalat dan zakat, mendustakan hari
kemudian, membicarakan yang batil bersama orang-orang yang membicarakannya,
sampai datang pada mereka Al Yaqin (kematian)…yang maksudnya adalah: datang
kepada mereka sesuatu yang telah dijanjikan, yaitu Al Yaqin (kematian).”
(Majmu’ Al
Fatawa 401-402 dan
417-418).
Maka ayat tersebut di atas jelas
sekali menunjukkan kewajiban setiap orang untuk selalu beribadah sejak dia
mencapai usia dewasa dan berakal sampai ketika kematian datang menjemputnya, dan
tidak ada sama sekali dalam ajaran islam apa yang dinamakan tingkatan/keadaan
yang jika seseorang telah mencapainya maka gugurlah kewajiban beribadah atasnya,
sebagaimana yang disangka oleh orang-orang ahli tasawuf.
*****
Kita dapat membagi ajaran tasawuf yang ekstrem ke dalam tiga sekte:
Pertama, sekte
Al Isyraqi, sekte ini didominasi oleh ajaran filsafat bersama
sifat zuhud. Yang dimaksud dengan Al Isyraqi (penyinaran) adalah penyinaran jiwa
yang memancarkan cahaya dalam hati, sebagai hasil dari pembinaan jiwa dan
penggemblengan ruh disertai dengan penyiksaan badan untuk membersihkan dan
menyucikan ruh, yang ajaran ini sebenarnya ada pada semua sekte-sekte tasawuf,
akan tetapi ajaran sekte ini cuma sebatas pada penyimpangan ini dan tidak sampai
membawa mereka kepada ajaran Al Hulul (menitisnya Allah ‘Azza wa Jalla
ke dalam diri makhluk-Nya) dan Wihdatul Wujud (bersatunya wujud Allah ‘Azza wa Jalla dengan wujud
makhluk/Manunggaling Gusti
ing Kawulo – Maha Suci Allah dari
apa yang mereka sifatkan), meskipun demikian ajaran sekte ini bertentangan
dengan ajaran islam, karena ajaran ini diambil dari ajaran agama-agama lain yang
menyimpang, seperti agama Budha dan Hindu.
Kedua,
sekte
Al Hulul, yang berkeyakinan bahwa Allah ‘Azza wa Jalla
bisa bertempat/menitis dalam diri manusia –Maha Suci Allah ‘Azza wa
Jalla dari sifat ini-. Keyakinan ini diserukan oleh beberapa tokoh-tokoh
ekstrem ahli Tasawuf, seperti Hasan bin Manshur Al Hallaj, yang karenanya para
Ulama memfatwakan kafirnya orang ini dan dia harus dihukum mati, yang kemudian
dia dibunuh dan disalib –Alhamdulillah ‘Azza wa Jalla - pada tahun 309 H. Dan di
dalam Sya’ir yang dinisbatkan kepadanya dia berkata (kitab At Thawasiin, tulisan Al Hallaj hal.130):
Maha
suci (Allah ‘Azza wa Jalla ) yang Nasut (unsur/sifat kemanusiaan)-Nya telah
menampakkan rahasia cahaya Lahut (unsur/sifat ketuhanan)-Nya yang
menembus
Lalu
Tampaklah Dia dengan jelas pada (diri) makhluk-Nya
dalam bentuk seorang yang sedang makan dan sedang minum
Hingga (sangat jelas) Dia terlihat oleh makhluk-Nya
seperti (jelasnya) pandangan alis mata dengan alis mata
dalam bentuk seorang yang sedang makan dan sedang minum
Hingga (sangat jelas) Dia terlihat oleh makhluk-Nya
seperti (jelasnya) pandangan alis mata dengan alis mata
Dalam sya’ir lain (kitab
Al Washaaya, tulisan Ibnu ‘Arabi (hal.27), -Maha Suci Allah
‘Azza wa Jalla dari sifat-sifat kotor yang mereka sebutkan-) dia
berkata:
Aku
adalah yang mencintai dan yang mencintai adalah aku
kami adalah dua ruh yang bertempat di dalam satu jasad
Maka jika kamu melihatku (berarti) kamu melihat Dia
Dan jika kamu melihat Dia (berarti) kamu melihat kami
kami adalah dua ruh yang bertempat di dalam satu jasad
Maka jika kamu melihatku (berarti) kamu melihat Dia
Dan jika kamu melihat Dia (berarti) kamu melihat kami
Memang Al Hallaj -seorang tokoh besar
dan populer di kalangan orang-orang ahli tasawuf ini- adalah penganut sekte Al
Hulul, dia meyakini dualisme hakikat ketuhanan dan beranggapan bahwa
Al Ilah (Allah ‘Azza wa Jalla ) memiliki dua tabiat yaitu:
Al Lahut (unsur/sifat ketuhanan) dan An Nasut (unsur/sifat kemanusiaan/kemakhlukan), yang kemudian
Al Lahut menitis ke dalam An Nasut, maka ruh manusia –menurut Al Hallaj- adalah Al Lahut ketuhanan yang sebenarnya dan badan manusia itu adalah
An Nasut.
Kemudian meskipun bandit besar ini telah
dihukum mati karena kezindiqannya –sehingga sebagian orang-orang ahli tasawuf
menyatakan berlepas diri darinya -, tetap saja ada orang-orang ahli tasawuf yang
menganggapnya sebagai tokoh besar ahli tasawuf, bahkan mereka membenarkan
keyakinan sesat dan perbuatannya, dan mengumpulkan serta membukukan
ucapan-ucapan kotornya, mereka itu di antaranya adalah Abul ‘Abbas bin ‘Atha’ Al
Baghdadi, Muhammad bin Khafif Asy Syirazi dan Ibrahim An Nashrabadzi,
sebagaimana hal tersebut dinukil oleh Al Khathib Al Baghdadi dalam kitab beliau
Tarikh Al Baghdad (8/112).
Ketiga,
sekte
Wihdatul Wujud, yaitu keyakinan bahwa semua yang ada pada
hakikatnya adalah satu dan segala sesuatu yang kita lihat di alam semesta ini
tidak lain merupakan perwujudan/penampakan Zat Ilahi (Allah ‘Azza wa Jalla
) – maha suci Allah ‘Azza wa Jalla dari segala keyakinan kotor
mereka-. Dedengkot sekte ini adalah Ibnu ‘Arabi Al Hatimi Ath Thai (Nama
lengkapnya adalah Abu Bakr Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad bin Ahmad Ath Thai Al
Hatimi Al Mursi Ibnu ‘Arabi, yang binasa pada tahun 638 H dan dikuburkan di
Damaskus. (Lihat Siar Al A’lam An Nubala’ tulisan Imam Adz Dzahabi 16/354)
Dalam kitabnya Al Futuhat Al Makkiyah
(seperti yang dinukilkan oleh DR.
Taqiyuddin Al Hilali dalam kitabnya Al Hadiyyatul
Haadiyah hal. 43) dia menyatakan keyakinan
kufur ini dengan ucapannya:
Hamba adalah tuhan dan tuhan adalah hamba
duhai gerangan, siapakah yang diberi tugas (melaksanakan syariat)?
Jika kau katakan: hamba, maka dia adalah tuhan
Atau kau katakan: tuhan, maka mana mungkin tuhan diberi tugas?!
duhai gerangan, siapakah yang diberi tugas (melaksanakan syariat)?
Jika kau katakan: hamba, maka dia adalah tuhan
Atau kau katakan: tuhan, maka mana mungkin tuhan diberi tugas?!
Dan dalam kitabnya yang lain
Fushushul Hikam (hal.192) dia ngelindur: “Sesungguhnya orang-orang yang
menyembah anak sapi, tidak lain yang mereka sembah kecuali
Allah.”
Meskipun demikian, orang-orang ahli Tasawuf malah
memberikan gelar-gelar kehormatan yang tinggi kepada Ibnu ‘Arabi, seperti gelar
Al ‘Arif Billah (orang yang mengenal Allah ‘Azza wa Jalla
dengan sebenarnya), Al Quthb Al
Akbar (pemimpin para wali yang
paling agung), Al Misk Al
Adzfar (minyak kesturi yang paling
harum), dan Al Kibrit Al
Ahmar (Permata yang merah
berkilau), padahal orang ini terang-terangan memproklamirkan keyakinan Wihdatul Wujud dan keyakinan-keyakinan kufur dan rusak lainnya,
seperti pujian dia terhadap Firaun dan keyakinannya bahwa Firaun mati di atas
keimanan, celaan dia terhadap Nabi Harun ‘alaihi salam yang mengingkari kaumnya yang menyembah anak sapi -yang semua ini
jelas-jelas bertentangan dengan nash Al Quran-, dan keyakinan dia bahwa kafirnya
orang-orang Nasrani adalah karena mereka hanya mengkhususkan Nabi ‘Isa
‘alaihi
salam sebagai Tuhan, yang kalau
seandainya mereka tidak mengkhususkannya maka mereka tidak
dikafirkan.
*****
[3] Ringkasan dari
satu pembahasan yang ditulis oleh DR. Muhammad bin Rabi’ Al Madkhali dalam
kitabnya “Haqiqat Ash
Shufiyyah” (hal. 18-21), dengan sedikit perubahan
[2] At
Taghbir adalah semacam
Qasidah yang dilantunkan dan berisi ajakan untuk zuhud dalam urusan dunia, lihat
kitab Igatsatul Lahfan tulisan Imam Ibnul Qayyim, maka silakan pembaca
bandingkan At Taghbir ini dengan apa yang di zaman sekarang ini disebut sebagai
Nasyid Islami(?), apakah ada perbedaan di antara keduanya? Jawabnya: keduanya
serupa tapi tak beda! Kalau demikian berarti hukum nasyid islami adalah…., saya
ingin mengajak pembaca sekalian membayangkan semisalnya ada seorang presiden
yang hobi dengar nasyid islami, apa kita tidak khawatir kalau dalam upacara
bendera sewaktu acara pengibaran bendera akan diiringi dengan nasyid
islami!!?
[1] Ringkasan dari satu
pembahasan yang ditulis oleh Syaikh Shalih Al Fauzan dalam kitabnya
“Haqiqat At
Tashawwuf”, pembahasan: Mauqif
Ash Shufiyyah Min Al ‘Ibadah wa Ad Din (hal.
17-38) dengan sedikit perubahan.
[1] Hadits ini dihasankan
oleh Syaikh Ali bin Hasan Al-Halabi –hafidzhahullahu- murid senior ahli hadits
Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullahu dalam footnote kitab "Miftah daaris
sa'adah" oleh Ibnu Qoyyim rahimahullahu 1/500.
[1] Hadits ini dihasankan
oleh Syaikh Ali bin Hasan Al-Halabi –hafidzhahullahu- murid senior ahli hadits
Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullahu dalam footnote kitab "Miftah daaris
sa'adah" oleh Ibnu Qoyyim rahimahullahu 1/500.