A.
Pendahuluan
Islam mengatur segenap perilaku
manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, demikian pula dalam masalah
konsumsi, Islam mengatur bagaimana manusia bisa
melakukan kegiatan-kegiatan konsumsi yang
membawa manusia berguna bagi kemaslahatan hidupnya. Islam telah mengatur
jalan hidup manusia lewat al-Qur’an dan al-Hadits, supaya manusia dijauhkan
dari sifat yang hina karena prilaku konsumsinya. Perilaku konsumsi yang sesuai
dengan ketentuan Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam akan menjamin kehidupan manusia lebih baik dan
sejahtera.
Berdasarkan teori ekonomi, “kepuasan
seseorang dalam mengkonsumsi suatu barang dinamakan utility atau nilai
guna, kalau kepuasan semakin tinggi maka semakin tinggi pula nilai gunanya,
sebaliknya bila kepuasan semakin rendah maka semakin rendah pula nilai gunanya”[1], seorang muslim untuk mencapai tingkat kepuasannya
mempertimbangkan beberapa hal, barang yang dikonsumsi tidak haram, termasuk di
dalamnya berspekulasi, menimbun barang dan melakukan kegiatan di pasar gelap,
tidak mengandung riba dan mem-pertimbangkan zakat dan infaq. Oleh karena itu
kepuasan seorang muslim tidak didasarkan atas banyak sedikitnya barang yang
bisa dikonsumsi, tetapi didasarkan atas berapa besar nilai ibadah yang
didapatkan dari apa yang dilakukannya.
Selanjutnya untuk meningkatkan
kepuasan kosumen sebagai upaya menarik minat konsumen terhadap nilai guna, maka
produsen sebagai penyedia barang-barang konsumsi memberikan sesuatu sebagai
daya tarik konsumen agar mau memenuhi setiap kebutuhan hidup sehari-hari pihak
produsen mengadakan berbagai macam upaya untuk melakukan dan memupuk
kepercayaan serta keinginan konsumen untuk memenuhi kebutuhannya tersebut,
pihak produsen sebagai penyedia barang memberikan berbagai macam hadiah-hadiah
bagi konsumen yang berbelanja di suatu perusahaan atau pasar-pasar swalayan
dari setiap transaksinya.
Program belanja berhadiah ini pun
kerap dilakukan dan diselenggarakan oleh pihak-pihak pengelola tempat-tempat
perbelanjaan, baik yang menjual produk-produk perlengkapan sekolah alat kantor
dan lainnya, seperti buku tulis, buku cetak, alat-alat tulis dan
perlengkapan-perlengkapan untuk belajar mengajar ataupun kantor, maupun yang
menjual produk-produk makanan, minuman ataupun kebutuhan rumah tangga lainnya.
Seperti halnya yang dilakukan oleh
toko buku Gramedia, sebagai tempat perbelanjaan yang menjual
perlengkapan-perlengkapan tulis-menulis, buku-buku pelajaran maupun alat
perkantoran lainnya, pihak perusahaan sebagai pengelola dan pengembangan usaha
mereka, sering mengadakan program penarikan kupon berhadiah yang menjanjikan
hadiah-hadiah yang menarik bagi para konsumen yang berbelanja di toko buku tersebut,
dengan nilai nominal berbelanja tertentu maka pembeli akan diberikan satu
lembar kupon yang kemudian akan dilakukan penarikan kupon-kupon yang terkumpul
sesuai dengan waktu yang telah ditentukan oleh pihak penyelenggara.
Kemudian sama halnya dengan apa yang
juga dilakukan oleh tempat-tempat perbelanjaan lainnya seperti Alfa Departemen
Store, Artomoro Departemen Store, Hypermart, Indomart, Alfamart, toko buku
Fajar Agung dan tempat-tempat berbelanja lainnya yang tergolong sebagai tempat
belanja yang modern saat ini. Program-program yang ditawarkan pihak
penyelenggara tersebut adalah semata-mata untuk menarik minat belanja konsumen
pada perusahaan yang dikelola oleh tiap-tiap tempat perbelanjaan yang ada,
termasuk pemasaran barang produksi dari produsen dengan memberikan
hadiah-hadiah yang akan diberikan kepada konsumen melalui kupon berhadiah pada
setiap akhir tahun. Hal ini dimaksudkan untuk menarik minat konsumen untuk
berbelanja dan melakukan transaksi pembelian barang pada perusahaan tersebut.
Penarikan hadiah yang ditawarkan tersebut dilakukan dengan cara memberikan
kupon berhadiah pada setiap tingkat nominal pembelanjaan tertentu yang
dilakukan konsumen pada pasar swalayan tersebut. Kupon berhadiah barang atau
uang atas dasar syarat-syarat tertentu yang diterapkan sebelumnya yang
diselenggarakan oleh perorangan, lembaga atau badan, baik resmi maupun swasta
menurut peraturan pemerintah bertujuan untuk mengumpulkan dana atau propaganda
peningkatan pemasaran barang dagang.
M. Ali Hasan menyebutkan, bahwa
“kupon ber-hadiah dipersamakan pengertiannya dengan peruntungan nasib, tetapi
pengertian yang berkembang dalam masyarakat amat berbeda, apakah termasuk judi
atau tidak”[2]. Sedangkan judi (maisir) adalah “permainan yang
mengandung unsur taruhan, dilakukan oleh dua orang atau lebih secara langsung
atau berhadap-hadapan dalam suatu majelis”[3]. Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan, yaitu taruhan
dan berhadap-berhadapan. Orang yang bertaruh pasti menghadapi salah satu dua
kemungkinan yaitu menang atau kalah, jadi sifat untung–untungan mengadu nasib.
Semua taruhan dengan cara mengadu
nasib, yang sifatnya untung-untungan dilarang keras oleh agama sebagaimana
firman Allah dalam QS. al-Maidah ayat 90, berbunyi :
Artinya : “Hai orang-orang yang
beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala,
mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji termasuk perbuatan
syetan. Maka jauhilah perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.”
Berdasarkan ayat di atas, maka
jelaslah bahwa judi termasuk pebuatan keji dan menjadi tugas utama setan untuk menyebarkan
kekejian di kalangan umat manusia. Yusuf al-Qaradhawi dalam kitabnya “Halal
Wal Haram” menyebutkan:
Artinya : “Setiap permainan yang
dicampuri judi (taruhan) adalah haram, yaitu setiap permainan yang tidak sunyi
dari untung atau rugi (untung-untungan).”[4]
Kemudian bagaimana halnya dengan
kupon berhadiah? apakah sama dengan judi atau tidak? hal inilah yang menarik
minat penulis untuk mengangkat permasalahan mengenai pemberian hadiah berupa
uang atau barang-barang melalui proses penarikan kupon berhadiah yang dikeluarkan
pihak-pihak penyelenggara lainnya dalam melakukan penarikan kupon berhadiah
seperti halnya pada departemen-departemen store sebagai pihak penyelenggara,
apakah dapat disamakan dengan judi atau tidak serta apakah hukumnya menurut
ketentuan syara’ atau hukum Islam di dalam tulisan ini?
B.
Pembahasan.
1.
Pengertian Kupon Berhadiah.
Kupon berhadiah menurut M. Ali Hasan
adalah, “memberikan barang dengan mengundi surat kecil atau karcis (kupon) dan
tidak ada tukarannya atas dasar syarat-syarat tertentu yang diterapkan
sebelumnya, menang atau kalah sangat bergantung kepada nasib, penyelenggaranya
bisa oleh perorangan, lembaga atau badan baik resmi maupun swasta menurut
peraturan pemerintah, yang bertujuan untuk mengumpulkan dana atau propaganda
peningkatan pemasaran barang dagangan”.[5]
Salah satu strategi pemasaran
terhadap barang-barang dagangan yang dijual oleh para pedagang agar menarik
minat para calon konsumen untuk membeli produk-produk yang dipasarkan adalah
dengan memberikan iming-iming hadiah kepada para calon kunsumen. Hadiah
tersebut ada yang diberikan langsung kepada setiap konsumen yang membeli produk
dalam jumlah tertentu yang dipasarkan oleh suatu lembaga atau perusahaan
tertentu dan ada pula yang diberikan secara diundi, sehingga hanya konsumen
yang memenangkan undian yang berhak mendapatkan hadiah. Pemberian hadiah kepada
para konsumen yang telah membeli produk-produk yang dipasarkan oleh para pedagang
atau perusahaan menimbulkan polemik atau pertanyaan bagi sebagian umat Islam
mengenai pembolehannya atau tidaknya pemberian hadiah tersebut menurut hukum
Islam.
Menurut Imam Syafi’i, pengertian
hadiah adalah “memberikan milik secara sadar yang dilakukan sewaktu hidup
karena untuk mengharapkan pahala dan menaruh rasa hormat, pengertian demikian
juga bisa dinamakan hibah dan setiap hadiah juga hibah”.[6] Pada dasarnya hadiah tidak berbeda dengan hibah,
hanya saja kebiasaannya hadiah itu lebih dimotivasi oleh rasa terima kasih dan
kekaguman seseorang. Pada hakekatnya hadiah yang diberikan dapat membedakannya
dari niat seseorang yang hendak memberikannya, ringkasnya bila pemberian
tersebut (hadiah) seseorang berkehendak dengan pemberiannya kepada pahala
akhirat semata, maka didapat disebut sedekah, sedangkan bila tidak bertujuan
apapun dari pemberiannya maka disebut hibah, kemudian bila ia bermaksud
untuk menaruh suatu penghargaan atau rasa hormat, kasih sayang dan pembalasan
yang baik, dari apa yang telah dilakukan seseorang atas perbuatan sesuatu maka
disebut dengan hadiah.
Sebagai contoh, suatu perusahaan
penjualan produk-produk industri baik industri makanan maupun indusrti tekstil
(pakaian) yang biasanya dilakukan oleh pedagang besar seperti pasar swalayan,
departemen store, mall, maupun pusat-pusat berbelanjaan lainnya, sering
mengadakan penarikan dan pemberian kupon berhadiah yang kemudian pada dekade
atau jangka waktu tertentu akan dilakukan penarikan kupon-kupon hadiah yang
telah terkumpul guna menentukan pemenang dari hadiah-hadiah yang telah
dijanjikan sebelumnya, sebagai rasa terima kasih pihak pedagang kepada konsumen
yang telah berbelanja dan juga sebagai propaganda peningkatan pemasaran barang
dagangan dan produk-produk yang ditawarkan oleh perusahaan penjualan tersebut.
2.
Hukum Kupon Berhadiah.
Untuk menentukan hukum tentang
masalah ini, para ulama sering berbeda pendapat. Hal ini terjadi karena jalan qiyasnya
yang juga berbeda. Dari dalil-dalil tersebut, ada yang mengqiyaskannya dengan
judi dan ada juga yang mengqiyaskannya dengan halalnya jual-beli. Oleh sebab
itu dalam kaidah hukum Islam disebutkan “jika terdapat dua qiyas atau dua dalil
selain dari nash-nash yang ada dan belum juga jelas ketentuan keduanya maka
diambil mana yang (dikira) adil dalam pengambilan dalil dari keduanya.”
Menurut hemat penulis, meskipun
kupon berhadiah merupakan salah satu cara guna mendapatkan suatu hadiah yang
dijanjikan sebelumnya, namun dalam konsep pelaksanaannya, kita harus dapat
menilai apakah kupon berhadiah tersebut digolongkan kedalam kupon berhadiah
yang mengandung unsur judi di dalamnya, seperti halnya togel ataupun yang
sejenisnya, maka Islam melarang bagi umatnya untuk berpartisipasi di dalamnya,
kemudian jika kupon berhadiah tersebut didapatkan dari jual beli suatu benda
yang disertai hadiah, baik secara langsung maupun diundi dengan tujuan agar
para konsumen tertarik untuk membeli produk-produk yang dipasarkan atau untuk
menarik minat konsumen agar tertarik untuk berbelanja di toko maupun
tempat-tempat berbelanja yang menyediakan hadiah bagi para konsumennya adalah
sah dan diperbolehkan. Artinya, hadiah yang diberikan melalui pengundian kupon
berhadiah yang berlaku sekarang untuk mempromosikan barang-barang dagangan dari
produk atau produsen pemasaran dengan cara bermu’amalah adalah diperbolehkan
dan bukan termasuk unsur judi, karena pemegang kupon berhadiah itu tidak
dirugikan karena kupon didapat dari transaksi mu’amalah (jual beli) yang
dilakukan pembeli dari toko atau tempat perbelanjaan lainnya.
Di dalam al-Qur’an surat al-Baqarah
ayat 275, Allah menjelaskan, “…Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba…”, dan di dalam suarat an-Nisa’ ayat 29, juga dijelaskan,
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan
suka sama-suka di antara kamu…”. Kedua ayat ini menunjukkan betapa Allah
sangat menghalalkan jual-beli yang di dasarkan pada azaz saling meridhoi dan
dengan jalan apapun juga, termasuk memberikan iming-iming hadiah asalkan tidak
diikuti oleh al-kadzbu atau dusta, bahkan Allah membedakan mana yang
jual-beli dan mana yang riba (sesuatu yang merugikan). Berdasarkan
ayat-ayat ini para ulama Indonesia melalui lembaga fatwanya Majelis Ulama
Indonesia (MUI), kemudian Lembaga Bahtsul Masa’il NU dan Lembaga Tarjih
Muhammadiyah berijma’, bahwa penarikan kupon berhadiah yang ada di dalam
pelaksanaan jual beli adalah boleh, dengan artian bahwa praktek perniagaan yang
disertai dengan hadiah adalah sah asalkan telah mencukupi syarat-syarat jual
beli dan hadiahnya pun halal karena tidak terdapat untung rugi dalam hadiah
itu, maka hal tersebut tidak termasuk judi sebagaimana yang diharamkan oleh
agama, karena defenisi judi adalah, setiap permainan yang mengandung
persyaratan di mana ada yang kalah dan mesti ada sesuatu keuntungan bagi yang
menang, yang kalah pasti menanggung kerugian.
Hal ini sesuai dengan perbuatan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dimana apabila akan
berpergian maka beliau mengadakan undian di antara istri-istrinya, siapa di
antara mereka yang keluar baginya, maka itulah yang diajak pergi bersamanya.
Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Dalam pembahasan fiqhnya, hal
ini dikenal dengan sebutan al-ju’al atau sayembara yang dalam tataran
praktik bisa berbentuk pemberian hadiah bagi orang yang menemukan barang yang
hilang atau melakukan hal tertentu. Dan al-ju’al adalah mu’amalah
mudah. Meski beberapa bentuk judi juga menggunakan undian, namun ada perbedaan
antara al-maisir/al-qimar dengan al-ju’al. Di dalam al-maisir
ada taruhan dari peserta sedang al-ju’al tidak menggunakan taruhan.
Namun kejelasan tentang hal ini perlu diketahui bahwa hal ini merupakan bagian
dari hukum bermu’amalah, di mana terdapat kaidah hukum ;
Artinya : “dasar setiap sesuatu
(pekerjaan) adalah boleh, sampai ada dalil (petunjuk) yang yang
mengaharamkannya.”
Dan Hadits Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam;
Artinya : “Kaum muslimin bertransaksi
sesuai dengan syarat-syaratnya selama tidak dihalalkan yang haram atau
mengharamkan yang halal.”
Oleh sebab itulah, maka dapat
diketahui bahwa undian berhadiah sifatnya memang untung‑untungan, akan tetapi
yang menjadikan undian menjadi haram adalah jika terdapat unsur judi yakni
adanya harta yang dipertaruhkan. Dalam kasus undian berhadiah, ia sangat
mungkin mengandung judi tapi bisa pula tidak. Secara rinci dapat dijelaskan dua
kemungkinan tersebut :
1.
Harga produk menjadi naik dengan adanya undian. Misalnya, sebuah perusahaan
menyelenggarakan undian pada produk A. Akan tetapi dengan adanya undian
tersebut, harga produk A bertambah, atau mungkin harga tetap tetapi kuantitas-kualitasnya
dikurangi hingga tidak sesuai harganya. Hal ini, adalah haram dan termasuk
perjudian. Sebab, ada harta yang dipertaruhkan dan hadiah yang diperoleh
kemungkinan besar berasal dari keuntungan harga barang yang telah ditambah.
2.
Harga barang tidak naik. Kebanyakan undian berhadiah memang tidak disertai
kenaikan harga produk. Undian tersebut hanyalah usaha persuasif dari produsen
untuk meningkatkan daya beli konsumen. Dan mengikuti undian semacam ini adalah
boleh. Sebab, saat membeli produk yang terdapat undian tersebut, jumlah uang
yang dikeluarkan memang sebanding dengan nilai barang yang dibeli. Menang atau
tidak, pembeli tidak dirugikan. Akan tetapi jika tujuan membeli produk tersebut
hanya agar bisa mendapat kupon dan menambah kesempatan dalam memperoleh hadiah,
hal ini tidak dibolehkan. Contohnya, seseorang membeli permen A sekian banyak
hanya agar bisa memperoleh kupon hadiah. Sedang sebenarnya ia sendiri tidak
butuh dengan permen tersebut. Maka hal ini tidak dibenarkan karena termasuk
perbuatan boros dan membuang harta sia-sia. Sedang Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam melarang umatnya menyia-nyiakan hartanya. Apalagi jika
untuk mengikutinya, peserta undian harus mengeluarkan biaya tambahan berupa
pengiriman pos.
C.
Kesmipulan.
Kesimpulan hukum mengikuti undian
berhadiah tersebut adalah boleh dengan syarat harga produk yang dibeli tidak
naik lantaran ada undian dan tujuan membeli barang tersebut. Artinya tidak ada
undian pun, barang tersebut tetap masuk dalam daftar barang yang akan dibeli.
[1] Sudarsono Heri, Konsep Ekonomi Islam, (Yogyakarta:
Ekonisia, 2003), h. 169
[2] M.Ali Hasan, Masailul Fiqhiyah, Zakat, Pajak, Asuransi
dan Lembaga Keuangan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), h. 99
[3] Ibrahim Husen, Apa Judi Itu ?, (Jakarta: Lembaga
Kajian Ilmiah, 1987), h. 2
[4] Yusuf Qardhawi, al-Halal Wa al-Haram,
(Beirut: Al-Maktabah Al-Islam, 1978), h. 112
[5] M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah; Zakat Pajak Asuransi dan
Lembaga Keuangan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, t.th.), h. 99
[6] Abdurahman al-Jaziri, Kitab Fiqih ‘ala Mazhabil Arba’ah,
(Beirut: Darul Kitab al-Ilmiah, 1990), Jilid. 3, h. 252
Tidak ada komentar:
Posting Komentar