Al-Imamah dan Khilafah
Al-Imâmah secara literal (lughawi) berarti
“kepemimpinan”. Al-Imâm berarti “pemimpin”. Dalam terminologi Islam al-Imâmah
bermakna “otoritas semesta dalam seluruh urusan agama dan dunia, yang
menggantikan peran Nabi Saw.[1] Al-Imâm
berarti: “Seorang (pria) yang – menggantikan Nabi – memiliki hak untuk
memerintah secara mutlak dalam urusan kaum muslimin baik dalam urusan dunia
maupun akhirat.
Kata “seorang (pria)” menunjukkan bahwa seorang wanita tidak dapat menjadi
seorang imam. “Memerintah secara mutlak” tidak termasuk mereka yang memimpin
salat – mereka juga dipanggil imam – tapi dalam konteks salat jamaah.
Tetapi mereka tidak memiliki otoritas mutlak. Dalam suksesi nabi, suksesi
tersebut menunjukkan perbedaan antara seorang nabi dan seorang imam. Imam
menjalankan otoritas ini secara tidak langsung, melainkan menjalankan tugas ini
untuk menggantikan kedudukan Nabi.
Kata “khilafah” berarti “pergantian” dan “al-khalifah”
bemakna “pengganti”. Dalam terminologi Islam “al-khilafah” dan “al-khalifah”
secara praktis menandakan arti yang sama dengan “al-imamah” dan “al-imam“.
Adapun al-Wisayah berarti “pelaksanaan wasiat” dan “al-Wasi”
bermakna “pelaksana wasiat”. Secara signifikan maknanya sama dengan “al-khilafah”
dan “al-khalifah“.
Menarik untuk diperhatikan bahwa banyak nabi-nabi sebelumnya juga khalifah
dari nabi-nabi pendahulunya, jadi mereka adalah nabi dan khalifah; sementara
nabi-nabi yang lain (yang membawa syari’at baru) bukan khalifah dari
nabi-nabi sebelumnya. Dan diantara mereka ada yang menjadi khalifah nabi-nabi
tetapi bukan nabi.
Masalah imamah dan khilafah telah meretas – memecah – keutuhan kaum
muslimin dan mempengaruhi pola-pikir, falsafah dari kelompok yang berbeda yang
telah sedemikian hebat sehingga persamaan yang ada yakni tauhid, meyakini Allah
(at-Tauhid) dan nabi (nubuwwah) tidak lagi dapat diselamatkan
dari pandangan-pandangan yang berbeda ini.
Inilah subjek yang menjadi perdebatan yang paling hebat dalam teologi (ilmu
kalam) Islam. Banyak kaum Muslim yang telah menulis ratusan kitab tentang
masalah khilafah. Masalah yang ada dihadapan penulis, bukan apa
yang harus ditulis; melainkan apa yang tidak harus ditulis. Dalam karya kecil
seperti ini – anda tidak dapat menyentuh seluruh ragam aspek dari permasalahan
ini – biarkan mereka mencarinya sampai detail ihwal topik-topik yang dibahas di
dalam buku ini. Buku ini hanya menyuguhkan sebuah garis besar dari ikhtilaf
yang ada diantara beberapa madzhab dalam Islam tentang masalah khilafah.
Mungkin dengan menyebutkan bahwa dalam Islam terbagi dalam dua madzhab yang
berbeda dalam menyikapi masalah ini, dapat membantu para pembaca dalam
berurusan dengan masalah ini. Madzhab Sunni meyakini bahwa Abu Bakar adalah
khalifah pertama selepas Nabi Saw. Madzhab Syiah meyakini bahwa ‘Ali bin Abi Tâlib
merupakan Imam dan Khalifah setelah wafatnya Nabi Saw.
Perbedaan azasi ini telah menuntun kepada perbedaan-perbedaan yang ada yang
akan dijelaskan pada bagian-bagian selanjutnya dari buku ini.
Ikhtisar Perbedaan
Nabi Saw bersabda dalam sebuah hadits yang validitasnya diterima oleh seluruh
madzhab dalam Islam:
“Umatku akan terbagi menjadi tujuh puluh firqah (bagian), seluruhnya
akan binasa kecuali satu firqah “.[2]
Pencari keselamatan akan selalu – tentu saja – tanpa lelah berusaha untuk
mencari tahu masalah ini kemudian menemukan jalan yang benar – jalan
keselamatan -, dan memang mesti bagi setiap orang untuk mencarinya, melakukan
yang terbaik dan tidak pernah berputus asa untuk mencari kebenaran. Tapi ini
hanya mungkin bila ia memiliki sebuah pandangan yang jernih dalam
menyikapi perbedaan-perbedaan yang ada di sekelilingnya, dan membuang segala
bias dan prasangka, menguji suatu kebenaran dengan pemikiran yang matang dan
dewasa, senantiasa berdoa kepada Allah Swt agar membimbingnya kepada jalan
kebenaran.
Atas alasan ini, saya mengajukan secara singkat di sini ikhtilaf-ikhtilaf
yang penting dan konflik-konflik yang ada kita hadapi bersama dengan
argumen-argumen, dalil-dalil dan penalaran yang sehat dari setiap madzhab,
dalam rangka memudahkan kita mencapai kebenaran yang kita cari.
Pertanyaan-pertanyaan utama yang mengemukan di sini adalah:
- Apakah pengganti Nabi, pengangkatannya dari Allah Swt atau diserahkan sepenuhnya kepada umat untuk memilih siapa saja yang mereka kehendaki sebagai pengganti Nabi?
- Dalam kasus terakhir, apakah Allah atau Nabi menyerahkan kepada umat kaidah-kaidah sistematis yang mengandung aturan-aturan dan prosedur bagi pengangkatan seorang khalifah, atau apakah umat dengan kesepakatan yang mereka capai sebelum mengangkat seorang khalifah, menyiapkan seperangkat aturan-aturan yang mereka terapkan dalam mengangkat seorang khalifah, atau apakah umat bertindak berdasarkan kepada apa yang mereka anggap perlu pada suatu waktu dan memanfaatkan kesempatan yang ada.
- Apakah akal dan dustur Ilahi menuntut adanya syarat-syarat dan kualifikasi dalam diri seorang imam atau seorang khalifah? Jika demikian, apa saja syarat-syarat dan kualifikasi tersebut?
- Apakah Nabi Saw menunjuk seseorang sebagai khalifahnya dan penggantinya atau tidak? Jika memang menunjuk seseorang, siapa orang tersebut? Jika tidak, mengapa?
- Setelah wafatnya Nabi Saw, siapa yang dikenali sebagai khalifahnya dan apakah orang ini memiliki kualifikasi-kualifikasi yang ada sebagai syarat untuk menjadi seorang khalifah?[3]
Perbedaan Azasi
Akan menghemat waktu, jika kita menjelaskan permulaan sebab azasi ikhtilaf
ihwal tabiat dan karakter imamah dan khalifah. Apakah
karakteristik utama yang ada pada urusan imamah? Apakah seorang imam,
pertama dan utama, adalah seorang penguasa sebuah kerajaan? Atau ia merupakan khalifahtullâh
dan khalifaturasul?
Karena imamah dan khilafah diterima secara umum sebagai
pengganti Nabi, pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak dapat dijawab hingga
keputusan dibuat berdasarkan kepada karakter asasi seorang nabi. Kita harus
memutuskan apakah seorang nabi adalah penguasa sebuah kerajaan atau merupakan
wakil Tuhan di muka bumi.
Dalam sejarah Islam, kita temukan suatu kelompok yang bila ditinjau dari
misi kedatangan Nabi Saw, terlihat sebuah usaha yang ingin mendirikan sebuah
kerajaan. Pandangan mereka bersifat material, tidak maknawi; gagasan-gagasan
mereka bertumpu pada pengumpulan harta, kecantikan dan kekuasaan. Mereka –
secara tabiat – menisbahkan motif-motif yang mereka bangun kepada Nabi Saw.
Seperti pada kasus ‘Utbah bin Rabi’ah – bapak mertua Abu Sufyan – yang
diutus untuk menjumpai Nabi menyampaikan pesan suku Quraisy.
“Wahai Muhammad! Jika engkau menginginkan kekuasan dan wibawa, kami akan
menjadikan engkau sebagai maharaja di Makkah. Apakah engkau berhasrat menikah
dengan putri bangsawan? Engkau dapat meminang putri tercantik di negeri
ini. Apakah engkau ingin emas dan perak? Kami dapat menyediakanmu segalanya
bahkan lebih dari itu. Tapi engkau harus meninggalkan dakwahmu yang menyerang
kami dan menghina nenek-moyang kami yang menyembah berhala.”
Suku Quraisy hampir pasti yakin bahwa Muhammad akan menanggapi tawaran yang
menggiurkan itu. Tapi Nabi Muhammad Saw membacakan sebuah ayat suci al-Qur’an
sebagai jawaban beliau – berisikan ancaman – kepada suku Quraisy itu. “Jika
mereka berpaling maka katakanlah: “Aku telah memperingatkanmu dengan petir yang
menimpa kaum Aad dan kaum Tsamud.“ (Qs. Fussilat:13)
‘Utbah sangat emosional dengan ancaman yang nyata ini. Ia tidak menerima
Islam, tapi memberikan nasihat kepada kaum Quraisy supaya tidak mengganggu
Muhammad dan melihat bagaimana ia akan berjalan dengan suku-suku lainnya. Suku
Quraisy mengklaim bahwa ‘Utbah pun telah terpengaruh sihir Muhammad.[4]
Kemudian ia ingin menyerahkan urusan Muhammad kepada suku-suku lain. Di
satu sisi, ketika Nabi Saw hijrah ke Madinah dan suku Quraisy berperang satu
sama lainnya, suku-suku yang lain berpikir lebih baik meninggalkan Muhammad
kepada sukunya sendiri. ‘Amr bin Salamah, seorang sahabat Nabi berkata:
“Bangsa Arab menantikan suku Quraisy menerima Islam. Mereka berkata bahwa
Muhammad harus diserahkan kepada kaumnya sendiri. Jika ia muncul sebagai
pemenang, tanpa ragu dia adalah seorang Nabi yang hak. Ketika Mekkah
ditaklukkan, seluruh suku-suku berlomba-lomba untuk menerima Islam.”[5]
Oleh karena itu, dan menurut mereka, kemenangan adalah kriteria kebenaran!
Jika Muhammad Saw ditaklukkan, maka ia akan dipandang sebagai pendusta!!
Pandangan bahwa misi suci ini tidak lain kecuali sebuah urusan duniawi yang
berulang kali diumumkan oleh Abu Sufyan dan kaumnya (Bani Umayyah, -penj.).
Pada waktu kejatuhan Mekkah, Abu Sufyan meninggalkan Mekkah untuk
menghindar dari kekuatan pasukan muslim. Ia terlihat oleh Abbas – paman Nabi –
yang membawanya ke hadapan Nabi dan memberi nasihat kepada Nabi bahwa sebaiknya
ia diberikan perlindungan dan penghormatan, dengan harapan semoga ia dapat
menerima Islam.
Untuk menyingkat cerita ini, al-’Abbâs membawa Abu Sufyan untuk
melihat-lihat lasykar Islam. Ia menunjukkan kepada Abu Sufyan orang-orang besar
dari suku yang berlainan dalam susunan pasukan Islam. Sementara itu, Nabi Saw
melewati pasukannya yang berseragam hijau. Abu Sufyan berteriak: “Wahai ‘Abbâs!
Sesungguhnya kemenakanmu telah memperoleh sebuah kerajaan!”. Al-’Abbâs berkata:
“Celakalah engkau! Ini bukan kerajaan; ini adalah kenabian.”[6]
Di sini, kita melihat dua pandangan yang saling berseberangan. Pandangan
Abu Sufyan tidak berubah. Ketika ‘Utsman menjadi khalifah, Abu Sufyan datang
kepadanya dan memberi nasihat, “Wahai putra Umayyah! Kini kerajaan ini telah
datang padamu, mainkanlah ia sebagaimana anak kecil bermain bola dan
serahkanlah secara turun- temurun kepada sanak keluargamu. Ini adalah hakikat
kebenaran; kita tidak tahu apakah surga dan neraka ada atau tidak.”[7]
Lalu, ia pergi ke Uhud dan menendang kuburan Hamzah (paman Nabi), dan
berkata: ” Wahai Abu Ya’la! Lihatlah kerajaan yang engkau berperang atasnya
akhirnya telah datang kepada kami.”[8]
Pandangan yang sama diwarisi oleh cucunya yang berkata: Bani Hasyim telah
bermain dengan kerajaan; namun akhirnya kini tidak ada kabar, juga tidak ada
wahyu yang turun sama sekali.”[9]
Jika pandangan seperti ini dianut oleh kaum muslimin, niscaya ia menyamakan
imamah dengan penguasa. Sesuai dengan pemikiran semacam ini, fungsi utama Nabi
adalah sebagai penguasa kerajaan, Oleh karena itu, siapa saja yang
mengendalikan kekuasaan adalah pengganti sah Nabi Saw.
Tapi masalah yang mengedepan kemudian adalah lebih dari sembilan puluh
persen nabi-nabi yang diutus tidak memiliki kekuasaan politik; dan kebanyakan
mereka menjadi tumbal atau korban kekuasaan-kekuasaan politik pada masanya.
Kejayaan mereka tidak terletak pada takhta dan mahkota, namun pada syahadah dan
pengorbanan. Jika karakteristik utama kenabian adalah kekuasaan politik dan
penguasaan, maka barangkali – bahkan – tidak ada 50 (dari 124.000)
nabi-nabi yang diutus akan bertahan dengan gelar Ilahi mereka sebagai nabi.
Jadi, sangat jelas bahwa karakteristik utama Nabi Saw tidaklah pada
kekuasaan politik, tapi pada khalifatullah, dan bahwa perwakilan ini
tidak dianugerahkan kepadanya oleh orang-orang; namun perwakilan ini
dianugerahkan oleh Allah Swt sendiri.
Demikian juga, pengganti Nabi, karakteristik utamanya juga tidak pada
kekuasaan politik; melainkan pada kenyataan bahwa ia adalah wakil Allah Swt,
dan perwakilan ini tidak akan pernah dianugerahkan oleh manusia, perwakilan ini
niscaya dan mesti dari Allah Swt sendiri. Singkatnya, jika seorang imam adalah
wakil Allah Swt, maka yang mengangkatnya sebagai wakil juga haruslah Allah Swt.
Sistem Kepemimpinan Dalam Islam
Pernah suatu waktu, sistem pemerintahan monarki adalah satu-satunya sistem
pemerintahan yang dikenal oleh manusia. Pada saat yang bersamaan, ulama-ulama
muslim mengagungkan sistem monarki dengan berkata: “Raja adalah bayangan
Tuhan,” seakan-akan Tuhan memiliki bayangan! Kini di abad kiwari, demokrasi
sedang digemari dan ulama-ulama Sunni tanpa mengenal lelah menegaskannya dalam
artikel-artikel, buku-buku dan risalah-risalah mereka, bahwa sistem
pemerintahan Islam berdasarkan sistem pemerintahan demokrasi. Mereka bahkan
terlalu cepat mengklaim bahwa demokrasi didirikan oleh Islam, dengan melupakan
kota republik Yunani. Pada babak kedua dari abad ini, sosialisme dan komunisme
telah mendapatkan perhatian khusus oleh negara-negara yang sedang berkembang
atau pun yang sudah berkembang; dan saya tidak terkejut mendengar bahwa banyak
cendekiawan muslim menegaskan bahwa Islam mengajarkan dan menciptakan
sosialisme. Beberapa orang di Pakistan dan di beberapa tempat yang lain, telah
menciptakan slogan “Sosialisme Islam”. Apa maksud dari “Sosialisme Islam” ini,
saya tidak tahu. Tapi saya tidak akan terkejut jika dalam sepuluh atau dua
puluh tahun ke depan orang-orang seperti ini akan memulai mengklaim bahwa Islam
juga mengajarkan komunisme.
Seluruh kecenderungan “berubah bersama angin” ini sedang membuat sebuah
lelucon dari kepemimpinan Islam. Beberapa waktu yang lalu dalam sebuah majelis
kaum muslimin di sebuah negara di Afrika, seorang pemimpin muslim menyebutkan
bahwa Islam mengajarkan: Taati Allah, taati Rasulnya dan penguasa di antara kalian”.
Dalam jawabannya, seorang presiden (yang kebetulan adalah seorang penganut
Katolik Roma yang setia) berkata bahwa ia sangat menghargai hikmah dari
perintah untuk mentaati Allah dan Rasul-Nya; tapi ia tidak dapat mengerti
logika dibalik perintah itu mentaati penguasa kalian ini.
Bagaimana jika seorang penguasa itu tidak adil dan seorang tiran? Apakah
Islam memerintahkan kaum muslimin untuk mentaatinya secara membabi-buta tanpa
sedikit pun perlawanan.
Pertanyaan yang rasional menuntut jawaban yang rasional pula. Hal ini tidak
dapat dipandang remeh. Kenyataan bahwa orang yang mengundang kritikan pedas,
melakukan hal itu karena kekeliruan dalam menafsirkan al-Qur’an.
Mari kita uji sistem kepemimpinan dalam Islam. Apakah ia berwarna
demokratis? Definisi terbaik demokrasi diberikan oleh Abraham Lincoln (Presiden
Amerika yang ke-16, 1861-1865) ketika ia berkata bahwa demokrasi adalah
“Pemerintahan rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”.
Akan tetapi dalam Islam, bukanlah pemerintahan dari rakyat, namun pemerintahan
dari Allah Swt. Bagaimana manusia dapat memerintah diri mereka sendiri? Mereka
memerintah diri mereka sendiri dengan membuat aturan-aturan sendiri; dalam
Islam, hukum tidak dibuat oleh manusia, tapi oleh Allah Swt; hukum ini
diajarkan tidak berdasarkan kesepakatan dan keputusan manusia, tapi oleh Nabi
Saw sesuai dengan perintah dari Allah Swt. Manusia tidak memilki suara dalam
legislasi; mereka diminta untuk mengikuti segala ketentuan yang dibuat oleh
Allah Swt, tanpa ada komentar atau usulan tentang hukum-hukum ini dan
legislasi.
Sampai pada frase “oleh rakyat”, mari kita timbang bagaimana manusia
memerintah diri mereka sendiri. Mereka melakukannya dengan memilih penguasa
mereka sendiri. Nabi Saw merupakan orang yang memangku badan eksekutif, hukum dan
seluruh otoritas dalam pemerintahan Islam, dan beliau tidak dipilih oleh
manusia. Dalam kenyataannya, jika penduduk Mekkah dibolehkan untuk memilih
sendiri, mereka akan memilih, ‘Urwah bin Mas’ud (dari suku Taif) atau
al-Maulid bin Mughira (dari Mekkah) sebagai nabi Allah! Menurut al-Qur’an, “Dan
mereka berkata: “Mengapa al-Qur’an ini tidak diturunkan kepada seorang
besar dari satu dua negeri (Mekkah dan Taif) ini.”[10]
Jadi, Nabi Saw tidak hanya seorang kepala negara agung dari negara
Islam yang ditunjuk tanpa konsultasi manusia, namun kenyataanya beliau
dipilih bertentangan dengan keinginan mereka. Nabi Saw adalah pemegang otoritas
tertinggi dalam Islam. Beliau menggabungkan personalianya dalam fungsi
legislatif, eksekutif, dan yudikatif dalam pemerintahan; dan beliau tidak
dipilih oleh manusia (rakyat).
Dengan demikian, Islam bukan pemerintahan rakyat, bukan “oleh
rakyat”. Tidak ada legislasi oleh rakyat; eksekutif dan yudikatif tidak
bertanggung jawab kepada rakyat, juga bukan sebuah pemerintahan untuk rakyat”.
Sistem Islam , sejak awal hingga akhir, adalah untuk Allah. Segala
sesuatunya harus dilakukan semata-mata untuk Allah; jika dilakukan untuk rakyat,
maka ini disebut sebagai “syirik tersembunyi”. Apa saja yang anda lakukan
– apakah salat atau sadaqah, amal sosial atau keluarga, ketaatan kepada orang
tua atau cinta kepada tetangga, memimpin salat berjamaah atau memutuskan sebuah
perkara, memasuki medan perang atau menyepakati perdamaian – harus dilakukan “qurbatan
ilallah” (sebagai pendekatan kepada Allah), untuk meraih keridaan Allah.
Dalam Islam, segalanya untuk Allah.
Singkatnya, bentuk pemerintahan Islam adalah pemerintahan Allah melalui
perwakilan-Nya, untuk meraih keridaan Allah.
Pemerintahan ini adalah pemerintahan teokrasi, dan merupakan tabiat dan
karakter kepemimpinan Islam, dan bagaimana pengaruh makna ayat di atas
berkenaan dengan ketaatan, akan kita lihat pada bagian terakhir dari buku ini.
[1]. Lihat,
Al-’Allamah al-Hilli: al-Babu ‘l-hadi ‘Asyar, Edisi Bahasa Inggris.
penj. W. M. Miller, hal. 62; Mughniyyah: Falsafat Islamiyyah, hal.
392.
[2] . Lihat,
al-Khâtib at-Tabrizi: Mishkatu ‘l-Masabih, Terjemahan Bahasa
Inggris oleh James Robson, vol.l, hal. 45; al-Majlisi telah mengumpulkan dalam
sebuah bagian yang lengkap, hadits-hadits yang bertalian dengan masalah ini
dalam Biharu ‘l-Anwar, vol. 28, hh.2-36; al-Qummi, Syaikh Abbas: Safinatu
‘l-Bihar, vol. 2, hal-hal. 359-360.
[3] . Lihat,
Najmu ‘l-Hasan: an-Nubuwwah wa ‘l-khilâfah, penj. Liqa’ ‘Ali Haidari,
hal. 2-3
[4] . Lihat,
Ibn Hisyâm: as-Sirah an-Nabawiyyah, vol.l, hal. 313-314.
[5] . Lihat,
al-Bukhâri: as-Sahih, vol. 5, hal. 191; Ibn Katsir
:al-Bidayah wa ‘n-Nihaya, vol. V, hal. 40.
[6] . Lihat,
Abu’l-Fidâ:’ al-Mukhtasar , vol.1, hal-hal. 143-144; al-Ya’qubi : at-Târikh
,vol. 2, hal. 59.
[7] . Ibn ‘Abdi
‘l-Barr: al-lsti’âb, vol. 4, hal. l679; Ibn Abi ‘l-Hadid mengutip
akhir kalimat akhir sebagai berikut: “Dengan namanya Abu Sufyan bersumpah,
tidak ada azab dan perhitungan (hisab), juga tidak ada Surga dan Neraka, juga
tidak ada hari kebangkitan dan hari hisab. (Lihat, Syarh Nahju ‘l-Balâghah,vol.
9, hal. 53).
[8] . Lihat,
Ibn Abi ‘l-Hadid: op. cit., vol. 16, hal. 136.
[9] . Lihat,
Sibt ibn al-Jauzi: ‘Tadzkirah, peny. S.M.S. Bahru ‘l ‘Ulum, hal. 261;
at-Tabari, at-Târikh, vol.13, hal. 2174.
[10] .Untuk
penjelasan “Seorang besar” lihat, as-Suyuti: Lubabu u’n-nuqul fi
asbabi’n-Nuzul dicetak bersama Tafsiru ‘l-Jalalayn, hal. 289, 649.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar